Source: hercampus.com |
Tahun 2016, saat saya resign dr salah satu retail fashion yg cukup besar di Indonesia, saya masih tidak percaya dg the power of e-commerce. Tp saat itu, banyak sekali perusahaan yg menawarkan pekerjaan sbg digital marketing kpd saya. Seems like everything goes digital. So I took the challenge, started from a very small and niche e-commerce. Then what happen next really blows my mind.
1 hal yg membuat saya suka dg pekerjaan baru saya, e-commerce & marketing manager, adl segala sesuatu yg terukur. Kesuksesan campaign bs dilihat dr report digital ads yg saya jalankan dg detail yg membuat saya berpikir, kok bisa ya manusia membuat alogaritma seperti ini. Tingkat kunjungan dan sales convertion bisa dilihat secara nyata, berapa banya yg dtg ke toko online kita & membeli, dan brp banyak keuntungan yg didapatkan dr investasi kita. Semua dlm 1 layar. Di perusahaan tsb, saya masih memiliki offline store, dan tahun 2017 adl salah satu masa yg sulit krna pelan-pelan org meninggalkan pembelian di toko offline, aplg area toko saya dekat dg pusat kemacetan kantor, kemacetan karena pembangunan, dan kemacetan krna demo2an. Dg kondisi seperti ini, online shopping adl solusi dr berbagai masalah hidup shopaholic yg males ribet. Namun, wlpn dibilang tahun ini adl tahun yg penuh perjuangan, growth penjualan masih positif, wlpn tidak setinggi ekspetasi di awal tahun 2017. And guess what, growth of my online store is way higher than what we expected. Disini saya mulai percaya dg pergeseran perilaku konsumsi masayarakat Indonesia, khususnya Jakarta, dr offline ke online shopping. Tapi dlm lubuk hati saya yg terdalam, saya masih denial dg the power of e-commerce.
Panel Discussion with Matt Idema, COO of Whatsapp |
Sepanjang pertengahan tahun, saya mengalami banyak hal menyenangkan; bertemu orang2 dr berbagai digital industry dan bertukar pikiran dg mereka, mulai dr org2 dr FB, Instagram, Whatsapp, Digital Agency, maupun local business owner yg menjalankan usaha online. I feel the positive vibe. In the other side, karena banyak HRD perusahaan lain yg menjadwalkan saya utk interview dg para petinggi perusahaannya, saya sering berdiskusi dg mereka mengenai Indonesian market. They think we're such a promising market, not only in south east asia, but also one of the most promising market in the world. Sampai disini, sesungguhnya saya amaze dg Singapore, negara kecil dg magnet besar. Investor2 Eropa & Amerika, suka sekali membuka kantor perwakilannya disini sbg based expansi mereka di Asia Tenggara. Sehingga banyak kantor2 MNC di Indonesia, memberikan reportnya kepada kantor perwakilan di Singapore. Selain kantor perwakilan, mereka jg lebih suka membuka flagship store di Singapore daripada di Indonesia. Tanpa mereka sadari potensi di Indonesia sangaaat besar.
Berbicara mengenai lemahnya ekonomi dan pergeserah pola konsumsi masyarakat dunia, bukan hanya Amerika yg merasakan dampaknya. Singapore adl salah satu negara yg merasakan hal tsb, dimana tingkat kunjungan pusat perbelanjaan mengalami penurunan. Survey kecil saya terhadap mall di Indonesia menemukan, tingkat kunjungan suatu pusat perbelanjaan tidak semua menurun. Ada yg sepi, tp ada jg yg sll ramai. Dr survey kecil yg saya lakukan setiap weekend, beberapa mall memang mengalami penurunan pengunjung, tapi mall lain justru overload, bisa kita lihat di Kota Kasablanka. Betapa Kokas sudah bertransformasi mjd "pasar" setiap weekend. Antrian di kasir beberapa toko, bikin frustasi pengunjung (baca: saya). Dan saya yakin tingkat kunjungan mall di daerah juga meningkat, mengingat emak saya, seorang ibu-ibu daerah, sekarang maunya main ke mall di kala weekend. So I think, the potential is there.
Kembali dg experience saya bertemu dg petinggi perusahaan saat saya interview, bbrp diantaranya org asing & kantornya di Singapore, saya mendapatkan informasi bahwa pasar Singapore sedang lesu sehingga mereka ingin ekspansi ke Indonesia (dalam hal ini Jakarta). Di sisi lain, saat saya bertemu dg pengusaha lokal, mayoritas mereka berpendapat bahwa pasar ecommerce sangat seksi, banyak sekali pemain yg ingin masuk kesini. Apapun produk yg dijual laku berat (dalam hal ini fashion & beauty) sehingga optimisme local brand & para business owner sangat tinggi. This is my point of interest, masa keemasan brand lokal. Pernah saya hadir ke suatu event Beauty Fair yg diikuti oleh local & international brand, and that was the time when I saw a long queueing in local brand booth while no queue at all at the international ones. I see hope. Wlpn International Beauty Brand belum menganggap local brand sbg threat, setidaknya pasar menerima dg baik local brand ini, dan surprisingly saat saya bertemu dg berbagai pihak e-commerce, mereka mengatakan bahwa fashion & beuaty item (baik lokal maupun internasional) merupakan item dg penjualan tertinggi dibanding kategori lain seperti gadget maupun elektronik. The hope is there! Pasar utk industri ini akan smkn berkembang & besar.
Terkait fashion, industri yg sangat saya cintai, saya punya opini sendiri dan sampai saat ini masih mencari pihak yg memiliki visi yg sama utk bekerjasama. Menurut saya potensi industri fashion di Indonesia masih sangat terbuka. Let alone the premium market, that's my expertise but I prefer handling the medium one. Pangsa pasar kelas menengah sangat besar, baik menengah ke bawah maupun menengah ke atas. Untuk menengah ke bawah bisa kita lihat bagaimana Sale Stock, Shopee, dan berbagai marketplace tumbuh besar di Indonesia. Peningkatan penjual di marketplace diikuti peningkatan pembeli juga. Sementara untuk pasar menengah ke atas treatmentnya berbeda. Banyak masyarakat urban di Indonesia yg haus akan barang branded sbg pernyataan kelas mereka, tp memiliki sensitifitas thdp harga brg. Disinilah peran kartu kredit, dan lembaga cicilan tanpa kratu kredit diperlukan. Tapi bagi mereka yg tinggal di daerah, karena belum banyak opsi brand yg masuk, maka edukasi brand kepada masyarakat memerlukan lbh banyak usaha. Disinilah pengusaha wajib menghadirkan offline store, sehingga belief masyarakat daerah terhadap brand lebih kuat. Dengan begitu brand activation di daerah luar Jakarta jg harus ditingkatkan untuk memperkuat engagement brand dg customer. Sementara utk Jakarta, ttp harus dimaintain dg Flagship Store & event2 besar minimal 1x dlm setahun serta meningkatkan aktivitas di dunia digital.
E-Commerce dianggap mengubah perilaku konsumen, dan digunakan sbg salah satu alasan kenapa terjadi penurunan aktivitas penjualan di berbagai ritel. Tanpa kita sadari ternyata pergeseran pola konsumsi dr masyarakat bukan berasal dr adanya e-commerce, yg pada kenyataannya walaupun memiliki tingkat pertumbuhan yg tinggi, tapi hanya berpengaruh sedikit terhadap keseluruhan pasar ritel. Jadi kemana masyarakat berbelanja? Apakah ekonomi benar-benar lesu? Pada pidato Presiden Jokowi dan artikel yg dirilis CNN Indonesia baru-baru ini, masyarakat sudah tidak lagi membeli barang saja, tapi juga experience. Sehingga saat industri ritel & FMCG lesu, industri F&B, wisata, dan perhotelan melaju kencang. Bahkan presiden Jokowi mengatakan bahwa beberapa tahun ke depan industri wisata bisa dijadikan tulang punggung negara, menggantikan sektor migas atau perkebunan. Kita pun bisa melihat, saat long weekend bagaimana situasi jalanan menuju touristry spot, bagaimana ekplorasi wisata di daerah2 yg akhirnya memunculkan destinasi wisata baru, dan bagaimana menjamurnya start up seperti traveloka, airbnb, reddoorz, maupun opentrip2 yg masih dalam skala kecil, bagaimana perkembangan LCC airlines smkn bnyk, dan geliat2 lainnya dr industri wisata.
Source: Agus Susilo |
Ekonomi kreatif merupakan masa depan yg harus direncanakan dg matang oleh banyak pihak di Indonesia. Bahkan pasar game sedikit demi sedikit mulai bertransformasi menjadi bagian dr gaya hidup dg pelaku industri yg memiliki modal besar. Jika kita tidak ingin tertinggal dg tren pasar ini, maka kita juga harus merubah perilaku kerja kita. Tantangannya adl menghadirkan produk kita di berbagai stage dalam kehidupan seseorang, baik produk sebatas material yg dibutuhkan utk bertahan hidup, maupun produk sbg bagian dr gaya hidup. Begitupun pola aktivitas pemasaran dan penjualan, bagaimana cara kita mendekatkan dengan generasi yg haus akan experiential tapi tetap mengelola kehadiran kita di berbagai pelosok negeri. Jangan hanya jadikan pulau Jawa sbg pasar utama, potensi pulau lainnya pun tak kalah besar, tinggal apakah kita mau berinvestasi banyak atau tidak untuk memasuki pasar tersebut. Jgn sampai potensi2 itu diisi oleh rival kita terlebih dl. Kelebihan perusahaan yg tidak disetir oleh pricipal adl kebebasan dlm memutuskan hal-hal strategis, jd saya yakin, akan butuh waktu lbh lama bagi perusahaan2 fashion/beauty dr eropa & amerika utk memasuki pasar daerah, inilah saatnya brand lokal utk kuat di negeri sendiri.
Mungkin sampai sekarang saya belum sepenuhnya percaya dg the power of e-commerce (saya lebih percaya kolaborasi online & offline) tapi saya percaya dg the power of social media, bagaimana FB-IG-Whatsapp sangat merubah perilaku kita. Saat ini potensi tsb sudah ditangkap oleh salah satu perusahaan digital besar di dunia, dan semoga kita tidak tertinggal dlm pengembangan pasar di masa selanjutnya. Mudah2an pd generasi kita, dengan besarnya sumber daya alam & meningkatnya kualitas SDM di Indonesia, inovasi2 baru akan semakin banyak bermunculan sehingga bisa memperkuat negara kita tidak hanya sbg negara dg konsumen terbesar di dunia, tp juga negara dg inovator & product owner terbesar di dunia.